![]() |
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden diangkat menjadi
sebuah film oleh Rob Marshall.
”Sentuhkan kakimu seolah tanpa se-ngaja.”
Dimulailah persiapan magang itu. Sang
geisha senior bernama Mameha (Michelle Yeoh) memberikan serangkai-an
trik kepada Nitta Sayuri (Ziyi Zhang), muridnya, yang akan
digosoknya menjadi bintang segala geisha. Ini trik untuk menaklukkan
laki-laki. Di tempat minum, tatkala para lelaki terhormat berkumpul,
seorang geisha harus menguasai jurus-jurus ele-gan menuangkan sake
atau teh.
Telah lama
Terbitnya novel Arthur Golden,
Memoirs of a Geisha (1997), yang menguak kehidupan geisha secara
detail, agaknya memberi kesempatan untuk itu. Dreamwork Pictures,
yang dipimpin oleh Steven Spielberg, bergandengan tangan dengan
sutradara film Chicago, Rob Marshall. Marshall mengaku sebagai
penggemar film klasik yang ”mampu membawa saya ke dunia misteri”
seperti karya-karya David Lean. Karena itu, ketika ia ditawar
produser untuk menangani film ini, Marshall tidak berpikir panjang
lagi menyetujuinya dan langsung mengumpulkan timnya yang dulu
mendukungnya dalam film
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Hal yang paling utama adalah: bagaimana menafsirkan buku yang sudah dua tahun menjadi buku terlaris di AS itu sebagai film yang menarik dan magnetik? Marshall tak ingin menghilangkan tema utama buku Golden yang menggairahkan perhatian pembaca, yakni kisah tentang tradisi mizuage, sebuah cerita dari Jepang era lampau tentang bagaimana kepe-ra-wanan seorang yang magang geisha dijual kepada penawar tertinggi.
Film Memoirs of a Geisha bercerita
tentang Ni-t-ta Sayuri, seorang geisha di Gion, Kyoto, yang pada
usianya ke-15 di tahun 1935 melepas keperawanannya seharga 11.500
yen, jumlah tertinggi yang pernah dibayarkan untuk mizuage. Unsur
inilah rupanya yang tak pelak membuat novel Arthur Golden sukses
besar. Sebetulnya, sebelumnya telah ada novel se-putar geisha
seperti roman indah Yasunari Kawabata berjudul Yukini (diterjemahkan
oleh Ajip Ro-sidi: Daerah Salju). Novel Kawabata ini bercerita
te-ntang seorang lelaki dari
Setting cerita Arthur Golden adalah
daerah Gion,
Tak lama setelah muncul novel Memoirs
of a Geisha, Iwasaki menggugat Golden. Sayuri, tokoh utama novel (dimainkan
oleh Ziyi Zhang), jelas mengambil kisah suka-duka hidupnya. Yang
paling kontroversial, Iwasaki mengatakan banyak hal kurang akurat di
novel Golden, termasuk persoalan mizuage. Menurut Iwasaki, dirinya
tak pernah melakukan mizuage. Bahkan tradisi mizuage dinyatakan
Iwasaki tidak ada di Gion. Geisha di
Spielberg agaknya tak menggunakan bahan protes Iwasaki ini. Dalam film ini persoalan mizuage tetap menjadi inti cerita. Film mengisahkan perjalanan Sayuri dari kecil, yang dididik untuk kelak disiapkan untuk ”dipetik”.
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
”Kamu bukan pelacur, tapi seniman,” kata Ma-meha, sang mentor. Suku kata gei dalam geisha ber-arti seni. Selama bertahun-tahun seorang calon geisha digembleng untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi—gendang kecil—memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiap-kan ulat menjadi kupu-kupu. Mereka yang tak berbakat akan terpental.
Geisha juga adalah wakil terdepan
dari dunia cita rasa. Pada saat di Jepang kimono menjadi
satu-satunya gaun perempuan,
Gabungan cita rasa dan keahlian seni ini yang mem-bedakan mana geisha top dan murahan. Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, ia membawa sang yunior keli-ling berbagai perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.
”Geisha sejati
tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa
disewa laki-la-ki dengan tarif per malam,” kata Sayuri dalam no-vel.
”Geisha kelas bawah bisa saja bersedia melayani tawaran semacam ini.
Perempuan seperti ini bisa saja menyebut dirinya geisha, tetapi
kurasa kau harus melihat bagaimana dia menari, seberapa baik dia
bisa memetik shamisen, sebelum kau memutuskan apakah dia geisha
sebenarnya.”
***
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Erotisisme memang tak terelakkan
menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman
Seorang geisha tak pernah menikah.
Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna, laki-laki
yang nanti akan membiayai hidup dan ke-mewahannya.
”Aku tak akan berpura-pura seorang geisha tak pernah menyerah sukarela kepada laki-laki yang dianggapnya menarik. Geisha juga punya kerinduan seperti halnya manusia biasa. Geisha yang mengambil risiko semacam itu hanya bisa berharap dia tidak akan ketahuan,” tutur Sayuri.
Dalam Memoirs of a Geisha, diceritakan Sayuri ja-tuh cinta pada Iwamura Ken, pendiri Iwamura Electric, yang membelikannya es krim di tepi Sungai Shirakawa saat ia kecil. Sayuri dipersiapkan menjadi danna Nobbu Toshikazu, Presiden Direktur Iwamura Electric, sahabat akrab Iwamura, tapi hati kecilnya memberontak. Setting novel adalah tahun 1930-1945 saat Jepang dilanda malaise.
Saat itu terjadi perubahan besar.
Citra geisha lambat-laun mengalami degradasi. Setelah pe-rang,
b-anyak geisha kehilangan patron, terusir dari rumah-ru-mah mewah.
Pelacur atau hostes di bar menya-mar se-bagai geisha.
Dalam film dikisahkan, selama masa perang Sayuri sempat diungsikan di pedesaan. Ia menjadi pe-rempu-an petani biasa. Tangannya yang lentik berubah kasar. Namun, ketika perang selesai, ia balik sebagai gei-sha. Di tengah kondisi yang berbeda, ia tetap menampilkan citranya sebagai geisha yang elegan. Sa-yuri ingin ditampilkan oleh Arthur Golden sebagai so-sok geisha sejati. Sebagai last geisha, seorang geisha yang bertahan dalam perubahan.
Itu akan berbeda sekali, misalnya, kalau kita me-nonton panorama geisha dalam film kontroversi-al su-tradara Jepang, Nagisa Oshima, In the Realm of -Senses, produksi tahun 1976. Film ini awalnya di-ce-kal, dilarang beredar di Jepang sendiri. Film ini ber-tolak dari sebuah kisah nyata pada tahun 1930-an. Bertempat di sebuah kawasan distrik militer di Tokyo, tempat para mantan geisha menggelandang di jalanan. Film berkisah tentang hubungan antara seorang laki-laki bernama Kichi dan pelacur bernama Sada.
Sehari-hari mereka melakukan seks
tiada henti. Film memperlihatkan keintiman itu secara eksplisit,
inci demi inci. Keduanya tak dapat menyetop kegiat-an itu. Mereka
lalu jam demi jam melakukan eksperimen genital yang sangat vulgar.
Pernah sekali waktu mereka bersanggama diiringi permainan shamisen
yang dimainkan seorang geisha tua dan gemuk. Atas permintaan Sada,
Kichi kemudian juga ”menimpa” geisha itu. Eksperimen tubuh ini makin
lama makin menjadi eksperimen yang sakit. Sampai akhirnya
eks-perimen berujung pada destruksi. Karena begitu posesif dan takut
Kichi bakal dimiliki wanita lain, ak-hirnya, setelah sebuah sanggama,
Sada memotong penis Kichi. Kichi mati. Sada kemudian berkeliling ke
seluruh
Kita juga bisa membandingkan film Hareem karya Ferzan Ozpetek (2003), yang pernah menjadi nomine dalam Festival Film Cannes. Film ini mengambil setting masa-masa menjelang dan sesudah runtuhnya Kesultanan Ottoman, Turki. Isi Hareem diperli-hatkan penuh dengan ratusan perempuan cantik dan se-lir sultan yang sebagian adalah keturunan E-ropa. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah merawat tubuh,- mandi, berendam berjam-jam dengan diba-ntu bebe-rapa pelayan, telanjang bulat dipijit, dibelai dengan minyak wangi oleh para budak kasim yang berotot. Mereka memanjakan tubuh dengan segala kemewah-an. Mereka berusaha terus mempercantik, meng-halus-kan, bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan agar mereka bisa dipilih sultan untuk menghasilkan anak.
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Bila kita misalnya sekarang ke Istana Topkapi, Istam-bul—bekas is-tana dinasti Ottoman yang berhek-tare-hektare itu—kompleks harem masih terjaga de-ngan rapi, meski tak lagi berfungsi. Kita bisa melihat kamar dan ruang-ruang luks bekas selir itu, mulai- kamar mandi, kamar tidur, sampai kolam-kolam be-rendam. Bila memasuki bekas kawasan lain istana,- misalnya tempat pribadi sultan menyimpan barang-barang yang dipercaya milik Nabi Muhammad, se-perti pedang atau helai rambut nabi, pengunjung bo-leh membawa guide dari luar. Tapi, untuk memasuki r-uangan bekas harem ini—seperti yang pernah dilakukan Tempo dalam sebuah perjalanan—pe-ngunjung harus membayar guide khusus dari istana. Tampaknya, itu untuk menghindari timbulnya informasi-informasi berbau erotis.
Film karya Ferzan membuka mata kita bahwa pe-rempuan-perempuan harem, yang pada zaman Otoman menjadi bagian istimewa kerajaan, pada era Tur-ki mengalami perubah-an sosial akibat perubahan kerajaan yang menjadi republik. Mereka tercerai-berai. Ketika istana diserbu, mereka lalu telantar. Kemudian ba-nyak yang hidup susah. Terbiasa seha-ri-hari hidup dalam kenikmatan cita rasa, mereka ke-mudian menjadi bukan siapa-siapa. Tak ada yang ingat lagi siapa me-reka. Hal yang getir seperti ini tak dapat dibidik oleh Memoirs of a Geisha.
Di akhir cerita, dalam novel (meski
tak ada di film), hidup Sayuri berakhir di
Di dalam novel dan film, kisah Sayuri adalah kisah Cinderella.
![]() |
Home | Bahasa | Bendera | Peta | Penduduk | Kekaisaran | Kabuku | Harakiri | Harajuku | Kalender | Ekonomi | Lingkungan | Perumahan | Sekolah | Kegiatan Luar Sekolah | Olahraga | Contoh Jadwal | Memoirs Of Geisha |
|
Web ini sengaja dibuat untuk membantu dan menghibur semua pembacanya Dilarang dengan sengaja membajak web ini. Created by. Chay_1412 RaZtAViLle |